Senin, 28 Desember 2009 - 12:48 wib
Karya: Ian Sancin
Penerbit: Hikmah (PT Mizan Publika)
ISBN: 978-979-3714-17-2
Cetakan Pertama: Juli 2009
SEMULA dia mengikuti ekspedisi ayahnya mencari kayu gaharu wangi. Tugas pelayaran dimaklumkan atas pertimbangan Pangeran Shun Chih, putra Kaisar Manchu yang menguasai kerajaan setelah memberangus Dinasti Ming. Namun sesungguhnya ekspedisi itu jadi pengampunan keringanan hukuman lantaran sang ayah berselingkuh dengan selir kaisar hingga melahirkan.
Anak yang dilahirkan itu bernama Yin Galema. Dilabuhkan bahtera asing dari tengah laut, sang putri asal Tiongkok menjalani masa kanak dan awal dewasanya di Negeri Balok.
Di tahun 1600-an menurut hikayat, negeri itu merupakan pusat kerajaan yang berkuasa di Pulau Belitong. Balok secara tersirat disebutkan negeri vassal (budak; pengikut) dari Mataram. Sebab, "...Ki Gede menerima takhta dan restu Susuhunan Cakrakusuma Sultan Agung di Mataram..." (halaman 36).
Negeri itulah yang akhirnya jadi tanah airnya yang kedua. Yin menjalani kehidupan seperti adanya putra-putri penduduk ningrat di sana. Bahkan dia menemukan kekasih impiannya yang tak kepalang tanggung: berupa dua cinta. Sekaligus! Yang seorang bertabiat pemaksa, penambat hati lainnya berupa makhluk bunian (yang tak kasat mata).
Kisah cinta melegenda antara putri Tiongkok dengan dua pangeran dari Negeri Balok. Itulah yang dirangkai sebagai karangan dari pendongeng modern Ian Sancin dengan novel debutnya berjudul Yin Galema.
Demi menebar sekadar kritik atau apalah namanya, patut disayangkan, sedikitnya Sancin luput mengayunkan detail pada langkah pertama Galema menginjak daratan dari perahunya (tepat di halaman 25). Padahal bab 2 yang menaungi halaman itu bertajuk "Putri Tiongkok Menginjak Balok". Tapi galibnya detail, luputnya Ian Sancin di situ hanya perkara kecil saja, jadi sungguh bukan ihwal keliru yang perlu agak serius dipersoalkan.
Mengikuti narasinya, sepengetahuan pembaca saja, Yin sudah memasuki kompleks Istana Raja Balok. Meski sebelumnya dia memperhatikan anak-anak yang berkerumun di dermaga. Tapi awalnya penglihatan gadis kecil itu antara saat di atas perahu dengan berjalan melewati dermaga, perhatiannya tidak berubah: tertuju ke para penduduk yang berkerumun, kemudian lebih terpusat pada anak-anak. Kapan dia berpindah tempat?
Hanya bila Ian langsung mengambil untung konsentrasinya di sana, momentum kolosal yang potensial di sela-sela halaman itu akan jadi lebih teranyam nyaman, baik dieja atau secara dibatinkan.
Tapi seperti telah dikatakan, keluputan penulis bukan soal besar sebab keseluruhan halamannya kemudian dijalin begitu utuh. Sancin seperti memiliki simpul-ikat demi membangun kekuatan cerita yang dia kisahkan.
Rangkuman bersimpul-ikat yang kukuh melatari novel, diukir melalui kalimat-kalimat berlagu ala Melayu. Layaknya alun air tak beriak namun amat mendalam. Sepenggal sejarah Belitong diungkapkan dengan cara mendayu-dayu. Demikian sangat menelangsakan rindu.
Sebab tak salah filsafatnya, berbunyi: "... Apa yang dilihat mata tidak pernah abadi dari apa yang dirasakan hati maka yang terpenting bagaimana mendapatkan bahagia dengan rasa ketimbang menikmatinya dengan mata" (halaman 558).
Seperti rindu putri Tiongkok memilih jodoh: antara Pangeran Mending atau Kanda Badau. Tak jauh, dekat saja, di Negeri Balok, Belitong tempatnya.